Cacapan dan Suapan dalam Pernikahan

PERNIKAHAN menjadi tanda perpisahan orangtua untuk melepaskan tanggung jawab anak kepada menantunya.

Dalam adat Komering yang digunakan Edhie Baskoro Yudhoyono dan Siti Ruby Aliya Rajasa pada akad nikah, makna ini dijalani lewat prosesi suap-suapan.

Menurut adat Palembang (Komering), upacara suap-suapan dan cacap-cacapan idealnya dilaksanakan di atas ranjang adat, tapi prosesi akad nikah Ibas-Aliya cukup duduk menggunakan kursi.

Kasur adat atau papan pasangan merupakan simbol bahtera yang akan mengantarkan kedua mempelai menuju pulau harapan.

“Suap-suapan bermakna suapan terakhir dari orangtua dan sesepuh keluarga. Bukan berarti keluarga atau orangtua tidak mau lagi, tapi kalau selama ini tanggung jawab mulai dalam kandungan hingga besar dan diantarkan menuju pintu gerbang rumah tangga berada di tangan orangtua, maka dengan menikahkan, otomatis tanggung jawab berpindah ke suami,” terang Jujuk Burhanan, perias tradisional akad nikah Ibas-Aliya di Jalan Jasa Marga No. 2, Kelurahan Dukuh, Kramat Jati, Jakarta Timur, dilansir Okezone, Kamis (24/11/2011).

Upacara adat suapan dilaksanakan oleh kaum ibu dalam jumlah yang ganjil, bisa 3, 5, 7, atau 9, yang terdiri dari ibu pengantin laki, ibu pengantin wanita, satu lagi bisa mewakili secara keseluruhan, baik tamu maupun keluarga. Menu suap-suapan adalah nasi kunyit ayam panggang.

Dalam menyuapkan, caranya adalah mengambil sejumput nasi kunyit panggang ayam, lalu disuapkan ke kedua mempelai.

“Misalnya Ibu Okke, maka Mas Ibas dulu yang dia suapi, tapi hanya separuh lalu sisanya diberikan ke Mba Aliya. Ibu Ani juga begitu, separuh suapan ke Mba Aliya dulu baru ke Mas Ibas. Maknanya, supaya rezeki tidak terputus, kasih sayang ke anak dan menantu, sama. Untuk yang menyuapi satu lagi, dia netral, bebas mau menyuapi siapa dulu,” jelasnya.

Setelah itu, kedua mempelai diberi minum air putih. Warna putihnya air yang diminum sebagai simbol doa dan harapan seluruh keluarga besar dan orangtua.

Air putih seperti sucinya hati orangtua yang tak lekang oleh masa. Derasnya air mengalir, diharapkan derasnya rejeki kedua mempelai.

Sementara, nasi kunyit ayam panggang masing-masing unsurnya memiliki makna tersendiri.

“Kuning lambang keagungan, ketan bersifat lengket yang diharapkan dengan pernikahan akan mengikat silaturahmi dua keluarga besar. Rasa gurih karena santan, kita tahu gurih sangat menyenangkan, enak. Kalau ayamnya sendiri seperti pepatah ayam kehilangan induknya. Induk ayam itu mengayomi, menyayangi, dan ayam adalah cikal bakal kehidupan yang akan memberikan keturunan,” ungkap wanita 62 tahun ini.

7 Prosesi

Tahap demi tahap prosesi adat Palembang, khususnya Komering akan dijalani Edhie Baskoro Yudhoyono dan Siti Ruby Aliya Rajasa pada akad nikah, 24 November 2011.

Duo sejoli ini akan menjalani sekira tujuh prosesi.

(foto: okezone)

Prosesi diawali dengan rombongan keluarga besar mempelai pria menghantarkan Ibas untuk mempersunting Aliya.

Iring-iringan disambut tabuhan musik tradisional Komering dan tarian ngigol yang dilakukan empat penari. Setelah itu, mempelai pria dipersilakan masuk untuk melangsungkan akad nikah.

“Mba Aliya berada di ruangan terpisah selama Mas Ibas ijab kabul. Setelah itu, dia keluar untuk menerima mas kawin dan sebagainya, lalu sungkem ke suami,” kata Jujuk Burhanan.

Prosesi dilanjutkan dengan munggah atau arak-arakan pengantin, baik menggunakan tandu maupun kereta kencana.

Karena prosesi adat tidak dijalankan secara utuh, munggah dilakukan Ibas dengan berjalan kaki diiringi tetabuhan rebana.

Setelah itu, pengantin pria bersiap memasuki rumah, disimbolkan sebagai rumah mempelai wanita.

Kedatangannya disambut Tari Milur yang dilakukan saudara-saudara perempuan pengantin pria yang sudah menikah berjumlah lima orang.

Ada sedikit kalimat saling berbalas pantun dari keluarga kedua belah pihak untuk menyambut keluarga baru.

Ibas kemudian duduk di kursi untuk bersiap menjalani prosesi suap-suapan nasi kunyit ayam panggang.

“Suapan dilakukan oleh ibu-ibu, harus dalam jumlah yang ganjil, bisa 3, 5, 7, atau 9, yang terdiri dari ibu pengantin laki, ibu pengantin wanita, satu lagi bisa mewakili secara keseluruhan, baik tamu maupun keluarga. Untuk Mas Ibas dan Mba Aliya, jumlahnya mash tentatif. Melihat rencana 3 orang, tapi kalau ada keluarga yang mau, itu spontanitas, yang jelas harus ganjil. Saya sih suka kalau tidak terlalu banyak, soal waktu dan bosan juga,” tambah Jujuk.

Kemudian, kedua mempelai menjalani prosesi cacap-cacapan di mana air bunga setaman diambil untuk ditepuk-tepuk ke kepala kedua mempelai.

Prosesi ini dilakukan kaum bapak, seperti halnya suap-suapan, harus juga dalam jumlah ganjil. Bapak pengantin pria mencacapi kepala pengantin wanita dahulu, baru kepala pengantin pria, begitu sebaliknya.

Acara ditutup dengan doa dengan pengantin telah menempati bangku pelaminan. Sementara duduk, digelar prosesi Tari Pagar Pengantin yang dilakukan saudara-saudara mempelai berdua.

“Yang menari 6 perempuan, 7 sama Mba Aliya, juga Mas Ibas. Tapi, dia tidak menari, hanya berdiri di luar lingkaran penari sambil memegang keris, simbol memastikan Mba Aliya aman. Mba Aliya di tengah-tengah penari yang melingkar, seperti halnya bunga teratai. Setelah menari, pengantin kembali ke pelaminan menerima ucapan selamat dari tamu, langsung makan siang,” tutupnya.

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp